Blok Migas Lepas Pantai Aceh Telah Teken Kontrak, Aceh Hanya Dapat 30 Persen, Ini Penjelasannya
Dua Blok Migas (minyak dan gas) di lepas pantai Meulaboh, Aceh Barat dan Singkil telah teken kontrak.
Kontrak pengelolaan dua Blok Migas di lepas pantai Aceh oleh Perusahaan Conrad Asia Energy Ltd dari Singapura.
Penandatanganan kontrak dilaksanakan leh WK Offshore North West Aceh untuk blok migas Meulaboh, Aceh Barat dan Offshore South West Aceh untuk Aceh Singkil di Jakarta pada Kamis (05/01/2023).
Penandatangan dilakukan oleh anak usaha Conrad ONWA Pte Ltd sebagai kontraktor WK Offshore West Aceh Singkil dengan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
Selanjutnya Direktur Jenderal Migas Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji menyatakan, penandatangan kedua kerjasama tersebut hasil lelang tahap I 2022 periode Juli-September.
Kemudian kontrak bagi hasil, cost covery tersebut merupakan kontrak eksplorasi dengan jangka waktu kontrak 30 tahun dengn split bagi hasil 60:40 persen untuk minyak dan 55:45 persen untuk gas.
Dr Taufiq A Rahim SE MSi PhD, salah seorang pakar ekonomi dan politik Aceh, Sabtu (07/01/2023) mengatakan itu semua sudah sesuai dengan aturan dan undang-undang yang berlaku sebelum penandatanganan kontrak.
Dikatakan, kontrak dengan total komitmen dari dua WK sebesra $30 juta, sekitar Rp 468 miiar dan total bonus tanda tangan senilai $100 ribu, sekitar Rp 1,5 miliar.
Ditambahkan, ada komitmen investasi selama 3 tahun pertama, ONWA Pte Ltd mengeluarkan dana $15 juta, sekitar Rp 234 miliar dengan bonus tanda tangan sebesar $50 ribu, sekitar Rp 781 juta.
Disebutkan, secara tegas dinyatakan, komitmen meliputi aktivitas studi G&G, seismik 3D 500 km2, terhadap 1 sumur eksplorasi.
Dia menjelaskan kedua blok migas tersebut berada di lepas pantai Aceh, diperkirakan memiliki sumber daya alam dan ekonomi yang berlimpah.
Dimana blok Meulaboh, Aceh Barat diperkirakan memiliki sumber daya minyak mencapai 800 juta barel minyak (millions barrel of oil/MMBO) dan gas sekitar 4,8 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/TCF).
Demikian juga unit blok Singkil berkisar 1,4 miliar barel minyak (billion barrels of oil/BBO).
Taufik menjelaskan ini semua dilaksanakan serta ditentukan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementrian ESDM.
Sehingga, katanya, Aceh hanya merupakan lokasi sumber daya migas saja, dan melalui BPMA sebagai perantara dengan sumber daya alam milik negara atau Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan milik Aceh.
Secara tegas, sebutnya, kita merujuk pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, ayat 1,2,3,4 dan 5, jelas sebagai landasan konstitusi bangsa dan negara Indonesia.
Ditambahkan, jika merujuk kepada Memorandum of Understanding (MoU) 15 Agustus 2015, semestinya yang dinyatakan 70 persen, ternyata berubah menjadi 30 persen setelah terjadi perubahan serta perdebatan.
Pada poin 1.3.4 MoU Helsinki menyebutkan, “Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokrabon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan masa mendatang.
Baik berada di daratah wilayah Aceh maupun laut teritorial wilayah Aceh.
Namun demikian angka tersebut berubah dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh, ada yang lebih besar, namun juga ada yang jauh lebih kecil.
Pada pasal 181 UUPA yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada 1 Agustus 2006 disebutkan bahwa:
Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya, yaitu:
Bagian dari kehutanan sebesar 80 persen. Bagian dari perikanan sebesar 80 persen. Bagian dari pertambangan umum sebesar 80 persen. Bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80 persen. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 15 persen. Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30 persen.
Taufiq mengatakan selain dana bagi hasil, Pemerintah Aceh mendapat tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi yang merupakan dari penerimaan Pemerintah Aceh yaitu:
a. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 55 persen.
b. Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40 persen.
Karena itu pada saat pemerintah Aceh menghendaki atau menuntut jatah 70 persen dari hasil pertambangan minyak dan gas bumi, maka Pemerintah Pusat berpegang kepada UUPA yang telah ditetapkan sah secasra hukum dan undang-undang.
Hal itu terjadi saat penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2015, tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh, ungkapnya.
Taufiq mengataan ada kesalahan terhadap pemahaman serta ketentuan hukum yang tidak diperhatikan sama sekali saat UUPA disahkan pada poin 1.3.4.
"Makanya, MoU Helsinki pun tidak dapat lagi menjadi rujukan, karena telah diturunkan menjadi UUPA," jelasnya.
Sehingga, berdasarkan PP Nomor 23 tahun 2015 yang ditandangani oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Mei 2015, Aceh hanya mendapatkan bagi hasil sebesar 30 persen dari minyak dan gas bumi.
Meskipun ada penambahan 15 persen dari pertambangan minyak dan gas bumi.
"Jika merujuk UUPA, 15 persen dari pertambangan minyak, maka dalam PP Nomor 23 tahun 2015 menjadi 30 persen," tambahnya
Dia menguraikan keterangan PP Nomor 23 tahun 2015 berhubungan dengan bagi hasil minyak dan gas bumi.
Pasal 69; Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa bagi hasil dalam pengelolaan sumber daya alam minyak dan Gas Bumi untuk Pemerintah 70 persen dan Pemerintah Aceh 30 persen .
Dimana poin ini sesuai dengan UUPA, bahkan ada penambahan sebesar 15 persen untuk bagi hasil pertambangan minyak, tetapi tidak sesuai dengan MoU Helsinki yang menyebut 70 persen untuk Aceh.
Selanjutnya pada pasal 70; Bonus tanda tangan ysang diterima oleh Pemerintah Pusat akibat penandatangan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dibagi dua, masing-masing 50 persen.
Kemudian pada pasal 71; Bonus produksi yang diterima oleh pemerintah sebagai bagi hasil tercapai target produksi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Bagi Hasil wajib dibagi dua, masing-masing 50 persen.
Taufiq menjelaskan dua blok migas Aceh di Aceh Barat dan Singkil milik Pemerintah Pusat , bukan milik Aceh, hanya saja lokasi berada di perairan laut lepas Aceh.
Dia menambahkan Pemerintah Aceh dan seluruh rakyat Aceh, bahkan elite politik masih berharap ketulusan dan keikhlasan Pemerintah Pusat untuk berbagi.
Demikian juga, terhadap Pemerintahan Aceh, eksekutif dan legislatif serta rakyat Aceh juga berharap belas kasihan dari pemerintah pusat.
Seperti untuk anggaran belanja publik (APBA) dan lapangan kerja, agar Pemerintah Pusat Jakarta memberikan peluang dan kesempatan kerja, sesuai dengan keahliannya.
Taufiq menegaskan UUPA sudah kecolongan, karena tidak secara cermat dan teliti dibaca oleh elite politik dan pemegang kuasa di Aceh.
"Sehingga, kembali lagi sumber daya alam migas sepenuhnya milik Pemerintah Pusat terhadap persentase penguasaan pembagiannnya," tutupnya.(*)