Tea

Perpu Cipta Kerja Yang Baru Diterbitkan Jokowi Dinilai Sangat Pro Ke Pengusaha, Rakyat Dapat Apa?

Author
Published 17.22.00
Perpu Cipta Kerja Yang Baru Diterbitkan Jokowi Dinilai Sangat Pro Ke Pengusaha, Rakyat Dapat Apa?
Pengajar Sekolah Tiggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, mengkritik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja alias Perpu Cipta Kerja yang baru saja diterbitkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. 

Sesuai dengan Undang-undang Dasar (UUD) dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Bivitri menyebut DPR harus membahas Perpu Cipta Kerja pada masa sidang setelah reses ini.

"Bisa menolak, tidak harus menerimanya," kata Bivitri saat dihubungi, Jumat, 30 Desember 2022.

Sebelumnya pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.


Walhasil, MK meminta UU ini diperbaiki dalam dua tahun. Tapi kini Jokowi menerbitkan Perpu Cipta Kerja, dengan alasan kepentingan yang memaksa karena kondisi ekonomi global yang harus cepat direspons pemerintah, salah satunya imbas Perang Rusia - Ukraina.


Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut putusan MK terkait UU Cipta Kerja ini sangat mempengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Sehingga dengan keluarnya Perpu Cipta Kerja ini, Airlangga berharap kepastian hukum bisa terisi.

Sementara, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md menyebut Perpu ini resmi mengugurkan status inkonstitusional bersyarat tersebut. Mahfud juga menyebut alasan kegentingan memaksa untuk penerbitan Perpu sudah terpenuhi, sesuai sesuai dengan Putusan MK Nomor 38/PUU7/2009.

Perpu dinilai pro pengusaha
Lebih lanjut, Bivitri menyebut alasan penerbitan Perpu ini menggambarkan pola pikir yg benar-benar pro pengusaha dengan menabrak hal-hal prinsipil. Ia menyoroti dua kesalahan dari segi hukum.


Pertama, Putusan MK 91 Tahun 2020 memutus bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sampai 25 November 2023 atau 2 tahun setelah putusan dibaca. "Artinya, bahkan UU itu tidak bisa dilaksanakan, tidak punya daya ikat, jadi buat apa keluarkan Perpu untuk revisi sebagian ini?" kata dia.

Sehingga, Bivitri menyebut penerbitan Perpu ini menguatkan dugaannya bahwa pemerintah memang mengabaikan putusan MK. "Serta melaksanakan terus UU Cipta Kerja itu," ujarnya.


Kedua, Bivitri menyebut tidak ada kegentingan memaksa seperti yang ditentukan dalam Pasal 22 UUD 1945 yang mengatur soal Perpu, maupun seperti yang ditetapkan dalam Putusan MK 139 tahun 2009. "Jelas-jelas saat ini hanya sedang liburan akhir tahun dan masa reses DPR, tidak ada kegentingan memaksa yg membuat presiden berhak mengeluarkan Perpu," kata dia.

Untuk itu, Bivitri melihat Jokowi ingin mengambil jalan pintas dengan penerbitan Perpu. "Supaya keputusan politik pro pengusaha ini cepat keluar, menghindari pembahasan politik dan kegaduhan publik. Ini langkah culas dalam demokrasi. Pemerintah benar-benar membajak demokrasi," kata dia.


Adapun dalam pertimbangan pemerintah, Mahfud menyebut ada kebutuhan mendesak sehingga Perpu terbit. Dalam tata hukum Indonesia, Perpu pun statusnya setara dengan UU. "Menurut ilmu hukum di manapun, hampir seluruh ahli hukum sependapat, keadaan mendesak itu adalah hak subjektif presiden, itu adalah kunci utama untuk dikeluarkannya Perpu," kata Mahfud.


Bivitri menyebut keadaan mendesak memang hak subjektif presiden. "Tapi tetap harus bisa diukur dong, kan kita negara hukum. Bukan berarti titah presiden itu hukum," ujarnya.

[ADS] Bottom Ads

Halaman

Copyright © 2021