Nikmat Raja Tambang RI: Royalti 0%, Dolar Parkir di Luar Negeri
Perusahaan batu bara di Tanah Air mendapatkan angin segar. Pasalnya, pemerintah resmi membebaskan iuran produksi atau royalti batu bara hingga 0%.
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja yang diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 30 Desember 2022.
Aturan soal royalti tersebut dituangkan dalam Perppu yang memuat sisipan satu pasal untuk UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba, yakni Pasal 128 A ayat 2.
"Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan Pengembangan dan/ atau Pemanfaatan Batubara dapat berupa pengenaan iuran produksi/royalti sebesar 0% (nol persen)," bunyi pasal tersebut yang tercantum dalam Perppu Cipta Kerja tersebut.
Ketentuan ini nantinya akan diatur lebih detil dalam peraturan pemerintah (PP). Dengan royalti 0%, pengusaha tambang, terutama batu bara akan semakin cuan. Terlebih lagi, ketika harga batu bara naik tinggi.
Seperti tahun lalu, harga batu bara sempat mencapai US$ 400 per ton. Batu bara dua kali memecahkan rekor yakni pada 2 Maret 2022 d harga US$ 446 per ton dan pada 5 September 2022 di harga US$ 463,75 ton.
Sekalipun dengan adanya pelemahan global akibat kelesuan ekonomi China, Analis Industri Bank Mandiri Ahmad Zuhdi memperkirakan harga batu bara akan berada di kisaran US$ 360-380 per ton pada pekan pertama Januari 2023.
Perang Rusia-Ukraina, persoalan gas Eropa, kekeringan dan gelombang panas di China dan India, banjir di Australia, hingga larangan ekspor Indonesia membuat batu bara terbang pada tahun lalu.
Namun, eksportir batu bara dan sumber daya mineral lainnya yang diuntungkan dengan kenaikan harga ini diduga tidak menyimpan dolar hasil ekspornya di dalam negeri.
Hal ini membuat risau pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Pasalnya, kenaikan harga komoditas menopang neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus beruntun selama 31 bulan.
Sayangnya, surplus tersebut tidak tercermin dalam cadangan devisa yang justru mengalami penurunan.
Per November 2022, cadangan devisa yang dicatat Bank Indonesia (BI) hanya mencapai US$ 134 miliar, naik tipis dari US$ 132 miliar pada bulan Oktober 2022. Cadangan devisa Indonesia sebenarnya sempat mencapai US$ 144,8 miliar pada Agustus 2021. Ini adalah rekor sejarah.
Alih-alih menyimpan dan menukarkan dolar di dalam negeri, eksportir lebih memilih menyimpan dolarnya yang seharusnya terhitung sebagai devisa hasil ekspor (DHE) di luar negeri, salah satunya di Negeri Jiran, Singapura.
Pemerintah dan BI pun menerapkan kembali sanksi dan denda terhadap eksportir sumber daya alam (SDA) yang gagal melaporkan dan menyimpan dolar hasil ekspornya di bank dalam negeri.
BI bahkan berupaya membujuk para eksportir untuk menempatkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) mereka di dalam negeri.
Upaya tersebut dilakukan BI dengan menerbitkan instrumen operasi moneter (OM) valas yang diharapkan mampu menggaet minat eksportir karena dapat memberikan imbal hasil deposito valas yang kompetitif berdasarkan mekanisme pasar yang transparan disertai dengan pemberian insentif kepada bank.
Dalam OM tersebut, bank nantinya bisa memberikan suku bunga simpanan yang lebih tinggi dan membebankan gap atau spread-nya kepada BI.
Eksportir memang banyak menyimpan dolar hasil ekspornya di Singapura, mengingat suku bunga simpanannya lebih tinggi dibandingkan di dalam negeri.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menuturkan bahwa imbal hasil bukan satu-satunya pertimbangan pengusaha untuk menempatkan DHE nya di dalam negeri.
"Itu nanti bisa kita pertimbangkan, mungkin dari sisi imbal hasilnya sudah lumayan tapi dari sisi lain pasti kita akan pertimbangkan kemudahan apa lagi yang bisa menyamakan kemudahan kalau ditaruh di luar," terangnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (26/12/2022).
Selain imbal hasil, dia menegaskan eksportir juga mempertimbangkan kemudahan administrasi yang lebih menjanjikan di luar negeri.
Oleh karena itu, selain instrumen moneter, jaminan kemudahan administrasi juga harus dilakukan guna menarik minat para pengusaha untuk memarkirkan DHE nya di dalam negeri.
"Kan tidak hanya sekedar imbal hasilnya, artinya ada beberapa administrasi yang mungkin kalau di sini lebih sulit, lebih baik (yang) lebih mudah di sana," ujarnya.
Melihat kondisi ini, miris jika perusahaan batu bara mendapatkan kemudahan pungutan royalti nol persen, tetapi memarkirkan keuntungannya di luar negeri.