Nasib Terkini RI, Pasca Kalah Gugatan Nikel di WTO
Indonesia saat ini sedang bersengketa hukum perdagangan dengan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) lantaran melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri. Pada Oktober 2022 lalu Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan tersebut.
Merespons kekalahan ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun langsung memerintahkan menterinya untuk mengajukan banding di WTO.
Lantas, sudah sampai mana proses banding Indonesia terhadap gugatan nikel di WTO tersebut?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui Indonesia tidak bisa begitu saja menerima kekalahan di WTO. Dia menyebutkan bahwa saat ini pengajuan banding masih dalam proses
"Kita kan lagi dalam proses (banding), kita nggak bisa nerima begitu saja dong," ungkapnya saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (10/2/2023).
Seperti diketahui, Presiden Jokowi juga menegaskan Indonesia tidak akan mundur, meski pada Oktober 2022 lalu Indonesia telah dinyatakan kalah di dalam gugatan pertama di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO terkait larangan ekspor bijih nikel ini.
"Sehingga saya sampaikan ke Menteri jangan tengok kanan kiri. Digugat di WTO, terus, kalah tetap terus, karena inilah yang akan melompatkan negara berkembang jadi negara maju, apalagi negara kita. Jangan berpikir negara kita akan jadi negara maju kalau kita takut menghilirkan bahan-bahan mentah yang ada di negara kita," paparnya dalam acara Mandiri Investment Forum di Jakarta, Rabu (01/02/2023).
Jokowi menyebut, bila hilirisasi komoditas tambang dan minyak dan gas bumi (migas) di Tanah Air berjalan, maka diproyeksikan bisa menambah Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 699 miliar dan membuka lapangan kerja sebesar 8,8 juta.
"Ini sebuah dampak yang besar. Membuka lapangan kerja yang sebesar-besarnya. Nikel sudah stop, bauksit stop, nanti sebentar mau saya umumkan tembaga stop tahun ini," ucapnya.
Menurutnya, RI takkan berhasil menjadi negara maju bila tidak menggencarkan hilirisasi di dalam negeri. Dia mengakui, yang paling sulit dari kebijakan hilirisasi ini yaitu mengintegrasikan komoditas-komoditas yang dimiliki.
"Jangan berpikir negara kita akan jadi negara maju kalau kita takut menghilirkan bahan-bahan mentah yang ada di negara kita. Dan yang paling sulit memang mengintegrasikan dari hilirisasi, (mengintegrasikan) komoditas-komoditas yang kita miliki," tuturnya.
Dia memaparkan, saat RI masih mengekspor bijih nikel, nilai tambah yang diperoleh "hanya" US$ 1,1 miliar atau sekitar Rp 17 triliun. Namun, pada 2022 lalu saat ekspor bijih nikel sudah dilarang dan yang dijual hanya berupa produk hilir yang telah diolah dan dimurnikan di dalam negeri, maka nilai tambah melonjak menjadi US$ 30-33 miliar atau sekitar Rp 450 triliun.