Tea

Benarkah Ekonomi Era Jokowi Meroket?

Author
Published 21.12.00
Benarkah Ekonomi Era Jokowi Meroket?
Ekonomi Indonesia di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dibilang melaju kencang. Di tengah ancaman resesi dunia, pertumbuhan ekonomi domestik masih di atas 5 persen.
Pada kuartal I 2022, ekonomi mampu tumbuh 5,01 persen (year on year/yoy). Kemudian kuartal II naik lagi menjadi 5,44 persen, dan pada kuartal III tumbuh impresif 5,72 persen.

Laju ekonomi kuartal IV juga diperkirakan masih bisa tumbuh di atas 5 persen, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun lalu bisa tetap di atas 5 persen.

"Di kuartal IV kita prediksi tetap kuat di atas 5 persen atau sekitar 5 persen karena kita melihat kondisi masyarakat, konsumsi masih tumbuh sangat kuat," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam CEO Banking Forum, Senin (9/1).

Perekonomian sepanjang tahun tumbuh tinggi dibandingkan negara lain yang tertekan ditopang oleh kinerja ekspor yang positif. Jelas saja, karena harga komoditas unggulan Indonesia naik tajam berkat perang Rusia-Ukraina.

Kemudian, investasi juga tumbuh tinggi karena mobilitas masyarakat yang mulai dilonggarkan ketika pandemi covid-19 mulai melandai. Meski perekonomian di semua daerah belum pulih secara merata, namun lebih baik dibandingkan negara lain

"Ekonomi pemulihan covid tidak merata dan masih terjadi disruption-disruption (di dunia), kita justru positif. Harga komoditas jelas, namun tidak hanya itu. Masyarakat sudah mulai pulih kembali, investasi tumbuh dekati 6 persen," jelasnya.

Kendati demikian, Ekonom Senior Faisal Basri menilai laju kencang ekonomi domestik tak berkualitas.

Faisal mengakui di era Jokowi, ekonomi mampu menanjak dan investasi meningkat. Namun, dampak terhadap pembukaan lapangan kerja belum optimal. Hal itu tercermin dari porsi pekerja informal yang masih mendominasi di kisaran 60 persen.

Dari sisi mutu, investasi yang masuk kebanyakan juga masih yang bersifat fisik belum teknologi.

"Padahal anak muda kan tenaganya kenceng. Tapi kita gagal memanfaatkan anak muda untuk menjadi orang produktif karena kita gagal menciptakan lapangan kerja yang bermutu," kata Faisal kepada CNNIndonesia.com, Jumat (6/10) lalu.

Ekonom Indef Nailul Huda juga menyorot kualitas investasi RI yang masih minim.

"Jika dilihat dari nilai pembentukan PDB ke penyerapan tenaga kerja memang masih terlihat belum berkualitas. Hal ini disebabkan investasi yang masuk tidak efisien karena nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) kita yang tinggi," ujar Nailul saat dihubungi redaksi.

ICOR mencerminkan tambahan investasi yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit output. Semakin besar angka ICOR satu negara, semakin tidak efisien.

Pada 2022, ICOR Indonesia naik ke level 6,2 persen. Angka ini dinilai tinggi karena menandakan biaya investasi di Indonesia masih boros.

Hal ini sebetulnya bisa dihindarkan, namun sistem investasi di dalam negeri yang sarat dengan politisasi menjadikan sulit untuk melakukan efisiensi biaya.

"Masalah ICOR ini salah satunya ditimbulkan oleh tingkat korupsi yang relatif tinggi di Indonesia. Itu yang harus diperbaiki terlebih dahulu," jelasnya.

Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan perekonomian sepanjang pemerintahan Jokowi tak berkualitas tercermin dari investasi yang tak berdampak terhadap serapan tenaga kerja.

Sepanjang Januari-September 2014 serapan tenaga kerja dari investasi Rp343 triliun mencapai 960.336 orang. Sedangkan, 2022 sepanjang Januari-September dari realisasi investasi Rp892,4 triliun tapi realisasi tenaga kerjanya hanya 965.122 orang.

"Itu bisa dengan jelas menunjukkan pada 2014 dibutuhkan investasi lebih kecil untuk menyerap tenaga kerja lebih besar. Sedangkan, 2022 kelihatan nilai investasi besar tapi serapan tenaga kerjanya loyo," jelas Bhima.

Menurut Bhima, kualitas dari investasi langsung, terutama Penanaman Modal Asing (PMA) selama 10 tahun terakhir cenderung menurun. Investasi tercatat banyak masuk ke sektor jasa dan sektor berbasis komoditas.
Contohnya, investasi langsung PMA mulai tahun lalu sudah terindikasi berkorelasi dengan boom harga komoditas. Kemudian pra pandemi banyak investasi padat modal di sektor teknologi.

"Memang tidak bisa disalahkan masuk ke teknologi atau perusahaan startup, namun harus di imbangi dengan investasi di sektor manufaktur juga," imbuhnya.

Karenanya, pemerintah harus bisa melipat gandakan porsi dari industri pengolahan terhadap investasi baru dan existing agar lebih berkualitas.

"Industri kan bukan cuma butuh obral insentif pajak, tapi juga butuh kemudahan izin, perlindungan terhadap impor barang jadi, akses ke bahan baku, hingga penurunan biaya logistik dan pemberantasan pungli," tutur Bhima.

Sementara, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai perekonomian di era kepemimpinan Jokowi bersifat moderat. Artinya, meski masih ada pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan, tetapi juga ada pencapaian.

"Dari pencapaian, salah satu warisan yang terlihat adalah pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan di dua masa kepemimpinan Pak Jokowi. Meskipun ada evaluasi dari pendekatan pembangunan infrastruktur yang dilakukan, namun demikian perlu diakui Indonesia membutuhkan infrastruktur terutama dalam pembangunan ekonomi jangka panjang," jelas Rendy.

Sementara, dari sisi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan, ia menyorot soal fenomena deindustrialisasi yang tengah dialami Indonesia.

Saat ini, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun, sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi tak berdampak pada peningkatan tenaga kerja.

"Inilah yang juga menjadi salah satu faktor kenapa investasi yang tercipta semakin sedikit dalam menyerap tenaga kerja, karena investasi di sektor manufaktur terutama yang padat karya mengalami tren perlambatan terutama dalam beberapa tahun ke belakang," kata dia.

Jurus Dorong Ekonomi Berkualitas
Rendy berharap pemerintah bisa menarik investasi ke sektor manufaktur untuk mendorong pertumbuhan berkualitas. Tentu saja, harus dibarengi dengan pemberian upah yang lebih tinggi agar kesejahteraan masyarakat ikut meningkat.

"Pertumbuhan yang lebih berkualitas adalah pertumbuhan yang tidak hanya mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang relatif besar, tetapi juga jenis pekerjaan yang diberikan adalah pekerjaan dengan upah yang layak dan pekerjaan yang sifatnya formal dan mempunyai jaminan sosial untuk pekerjaannya," kata Rendy.

Menurut Rendy, salah satu jenis pekerjaan atau lapangan usaha yang bisa memenuhi prasyarat tersebut adalah sektor industri manufaktur.

"Sektor ini kemudian perlu digalakkan kembali atau istilahnya disebut dengan reindustrialisasi dengan cara menciptakan ekosistem industri manufaktur yang baik," pungkasnya.

[ADS] Bottom Ads

Halaman

Copyright © 2021