MK: Pencatatan Nikah Beda Agama di Dukcapil Bukan Pengakuan Negara!
UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) memberikan hak pencatatan kepada masyarakat yang menikah beda agama, setelah meminta izin ke Pengadilan Negeri (PN). Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tegas pencatatan ini bukanlah pengakuan negara atas keberadaan dan eksistensi nikah beda agama.
Pasal 34 UU 23/2006 menegaskan bahwa setiap warga negara yang telah melangsungkan perkawinan sah menurut peraturan perundang-undangan berhak mencatatkan perkawinannya pada kantor catatan sipil bagi pasangan yang beragama non-Islam dan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan beragama Islam. Jaminan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara juga dapat
dilakukan terhadap perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.
"Meskipun dalam penjelasannya dijelaskan yang dimaksud perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama, menurut Mahkamah bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama," demikian bunyi putusan MK yang dikutip detikcom, Jumat (3/2/2023).
Karena negara, kata MK dalam hal ini mengikuti penafsiran yang telah dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang memiliki otoritas mengeluarkan penafsiran. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran maka lembaga atau organisasi keagamaan dari individu tersebut yang berwenang menyelesaikannya.
"Sebagai sebuah peristiwa kependudukan, kepentingan negara, in casu pemerintah, adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan oleh pengadilan," urai MK.
MK menyatakan pencatatan pernikahan beda agama di Dukcapil harus dipahami sebagai pengaturan di bidang administratif kependudukan oleh negara.
"Karena perihal keabsahan perkawinan adalah tetap harus merujuk pada norma Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974, yaitu perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya," ujar MK.
Putusan itu diputus tidak bulat. Hakim MK Daniel dan Suhartoyo menilai sudah saatnya negara mengatur nikah beda agama. Namun kewenangan itu ada di DPR, bukan di MK.
"Negara akan menjadi adil dan berlaku fair dengan memberikan tempat yang seharusnya terhadap berbagai keberagaman agama dan kepercayaan yang dianut oleh warga negara Indonesia. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, saya ingin menegaskan bahwa negara harus hadir terhadap persoalan ini, terutama terkait dalam pencatatan perkawinan warga negara.
Sebab, pencatatan atau ketertiban administrasi dalam pencatatan perkawinan adalah hal yang sangat penting dalam melindungi hak-hak warga negara sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945. Pencatatan perkawinan tersebut selain untuk melindungi pasangan perkawinan beda agama/penghayat kepercayaan, juga melindungi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut," ujar Daniel.